Thursday 5 November 2015

Manusia Pertama

Pernahkah terpikirkan dalam benak anda bermacam pertanyaan yang oleh karena struktur dalam keluarga, lingkungan sosial dan lainnya yang sudah terbentuk sedemikian rupa sehingga seolah-olah pertanyaan-pertanyaan tersebut tak pernah dijawab atau tak pernah mendapatkan jawaban yang setidaknya mendekati kebenaran?
Bagi saya, terlalu banyak pertanyaan yang sampai sekarang belum pernah ada jawaban yang melegakan. 

Pertama, apa benar Adam adalah manusia pertama? jika saya meyakini bahwa Adam adalah manusia pertama, saya membutuhkan jawaban untuk pertanyaan kedua. Siapa yang dinikahi anak-anak Adam? apakah saudaranya sendiri? sedangkan dalam ajaran yang oleh lingkungan sekitar saya yakini mengatakan kalau tidak diperbolehkan menikah dengan saudara kandung sendiri.

Bukan bermaksud melarang untuk meyakini ajaran yang selama ini sudah ada dan terpelihara. Namun, perlu digali lebih dalam lagi kaitannya dengan "Manusia" pertama. Saya meyakini bahwa Kanjeng Nabi Adam As. adalah manusia pertama, tapi bukan berarti saya tidak percaya bahwa ada "Manusia" sebelum Adam. Sebagai contoh, Fosil manusia purba seperti Pithecanthropus Erectus sudah lama ditemukan di Nusantara dan diketahui meraka hidup pada zaman sebelum adanya "Manusia". Artinya, yang dimaksudkan Adam sebagai "Manusia" pertama saya yakini pasti mengandung makna tersembunyi dibalik kata "Manusia" itu sendiri.

Selama ini, kebanyakan orang membedakan manusia dengan hewan dari akalnya. Dimana letak akal? banyak dari kita mengetahui dimana letak otak, namun akan diam ketika ditanya dimana letak akal.  Belum lagi, apakah kita sudah menggunakan akal? lalu bagaimana dengan banyaknya kasus yang menurut saya justru merupakan sebuah perilaku yang tidak masuk akal, diluar akal, dan perilaku yang lebih keji dan hina dari binatang?

Barangkali, Kanjeng Nabi Adam As. adalah yang pertama disebut "Manusia" karena memang Beliaulah yang pertama layak disebut manusia, yang manusiawi, menggunakan akalnya.
Manusia harus manusiawi, bukannya bertindak keji dan tidak manusiawi. Setidaknya, jika mau disebut manusia, sudah sepatutnya harus lebih baik dari hewan, pun makhluk lainnya. Bukannya lebih rendah.
Apakah kita sudah menggunakan akal?
Apakah kita sudah layak disebut "Manusia"?

Tuesday 6 October 2015

Kebahagiaan Rasa Cukup

Pagi ini, semangat terpompa setelah membaca salah satu kutipan Gus Candra Malik, sosok yang sangat saya kagumi:

"Yang menikmati rasa cukup, ia mensyukuri masa hidup"

Sontak menjadi teringat juga kutipan serupa namun beda kata dari Novel Dee Lestari seri Supernova pertama, KPBJ:

"Orang terlalu kaya dan terlalu miskin mempunyai satu persamaan, sama-sama krisis apresiasi"

Mungkin tidak selalu demikian, namum bisa jadi demikian. Hidup akan menjadi nikmat jika kita menikmati apa yang ada sekarang, menikmati setiap momentum dan setiap detik dalam hidup tanpa pretensi dan ekspektasi apa-apa. Karena hidup adalah sekarang tidak kemarin, besok, ataupun lusa. Jika membicarakan kekurangan, rasa-rasanya semuanya akan terasa masih kurang. tidak ada batasan kekayaan, pun kemiskinan. Keduanya relatif.

Bahagia adalah menikmati dan bersyukur akan semua yang ada sekarang. Bahagia adalah sebuah keadaan yang hanya kita sendiri yang menciptakan.

Yogyakarta, 06 Oktober 2015

Sunday 13 September 2015

MATERI PERKULIAHAN

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
Toksikologi

Skenario Agung

"Dunia ini panggung sandiwara" ....
Bait pertama salah satu lagu dari musisi legend Indonesia ini entah kenapa selalu terngiang dalam benak saya. Lagu yang berumur jauh lebih tua dari umur saya ini sangat cocok untuk direnungkan. Baru-baru ini, setiap kali saya dihadapkan dalam satu masalah dengan porsi kecil maupun besar, yang selalu terlintas adalah bait lagu tersebut. Rasa-rasanya Sang sutradara agung menitipkan salah satu pelajaran lewat lagu tersebut.
Skenario... ya, semua masalah, kejadian, dan pengalaman tak lain adalah bagian dari skenario Sang sutradara agung yang sudah tersusun sangat apik. Barangkali inilah yang disebut sebagai takdir. Kita hidup menjalani takdir dari sang pencipta yang apabila dianalogikan kedalam sebuah film, kita berperan memainkan skenario sang sutradara. Jika kita diberi peran sebagai penjahat, kita harus memainkan peran sebaik mungkin sebagai penjahat, pun demikian jika kita diberi peran sebagai raja kaya raya ataupun semua peran yang baik-baik.
Seringkali muncul keluhan akan apa yang diterima saat ini ataupun yang sudah-sudah. Namun, jika ditelusuri lebih jauh ternyata sama sekali tidak ada gunanya. Kalau memang harus percaya dengan takdir, maka sudah sepatutnya tidak ada keluhan dalam hal apapun yang harus dikeluarkan karena itulah yang harus dialami dan dijalani. Layaknya pemain film, apapun peran yang diberikan sang sutradara saya harus berbahagia dan berterima kasih kepadanya mengingat untuk mendapatkan peran dalam sebuah film harus melalui audisi ketat dan banyak diikuti orang lain yang juga mau berperan.
Sebuah keluhan saya definisikan sebagai bentuk ketidakbahagiaan dan rasa tidak berterimakasih kepada sutradara.
Kehidupan merupakan pergelaran film maha agung yang sudah seharusnya dijalani dengan bahagia karena terlibat didalamnya.
Apapun perannya, Berbahagialah, Berterimakasihlah, Bersyukurlah.....
Hidup ini indah begini adanya!

(Yogyakarta, 13 September 2015)