Friday 21 September 2012

Pendidikan Kesehatan disekolah

Sumber gambar : formatnews.com
Menjadikan anak-anak sehat dan mampu untuk belajar merupakan komponen yang esensial dari sebuah sistem pendidikan yang efektif. Terutama sekali ini relevan untuk mendukung program Education for All untuk daerah-daerah yang kurang beruntung. Anak-anak di daerah (keluarga) yang kurang beruntung ini biasanya paling rawan terkena sakit dan kurang gizi. Mereka membutuhkan perbaikan kesehatan. Program kesehatan sekolah yang paling efektif yang dikembangkan sebagai bagian dari kemitraan dengan masyarakat dapat memberikan cara yang paling efektif untuk menjangkau anak yang lebih besar (remaja) dan lebih luas lagi masyarakat serta merupakan cara yang berkelanjutan untuk mempromosikan praktek-praktek yang sehat.
Memperbaiki kesehatan dan pembelajaran (health and learning) anak sekolah melalui program berbasis sekolah bukan merupakan konsep baru. Banyak negara telah mempraktekkan program ini. Demikian pula dengan lembaga-lembaga internasional. Dari pengalaman melaksanakan program tersebut, disarankan untuk a) membuat aksi nyata dengan kemitraan dengan berbagai pihak/agency untuk memperluas cakupan program kesehatan sekolah dan b) membuat lebih efektif. Program kesehatan sekolah yang efektif akan berkontribusi dalam pengembangan Sekolah Ramah Anak (Child Friendly School) dan dengan demikian berkontribusi untuk pendidikan untuk semua (Education for All).
Sekolah Ramah Anak
Kerangka kerja yang dipaparkan di sini adalah merupakan titik awal untuk mengembangkan komponen kesehatan sekolah yang efektif dalam upaya yang lebih luas untuk mencapai sekolah yang lebih Child Friendly. Child Friendly School yang dikembangkan oleh UNICEF ditandai sekolah tersebut sehat untuk anak, efektif dengan anak, protektif terhadap anak dan melibatkan keluarga dan masyarakat – dan anak.
Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan, namun bila setiap sekolah menerapkan empat intervensi-intervensi ini maka sudah dapat terlihat manfaatnya yang berarti dalam waktu relatif singkat. Ini menjadi dasar bagi pengembangan berikutnya. Selain itu tujuannya adalah memfokuskan intervensi-intervensi yang memungkinkan untuk dilakukan di sekolah dengan sumber daya yang minim. WHO dalam kesehatan sekolah, pada tahun 1996 meluncurkan inisiatif global untuk meningkatkan jumlah sekolah yang disebut “health promoting“. Sekolah yang mempromosikan kesehatan adalah sekolah yang secara terus menerus memperkuat kapasitas sebagai tempat yang sehat untuk tinggal, belajar dan bekerja. Pengalaman yang dilakukan oleh WHO, Unicef, Unisco dan Word Bank telah merekomendasikan adanya komponen utama yang cost effective yang dapat membentuk basis bagi tindakan bersama yang lebih intensif untuk membuat sekolah sehat dan berkontribusi untuk pengembangan sekolah yang “Child Friendly”. Kemudian lembaga-lembaga tersebut mengembangkan kemitraan untuk memfokuskan sumberdaya pada kesehatan sekolah efektif (Focusing Resources on Effective Schooll Health = FRESH).
Empat komponen FRESH adalah :
1. Kebijakan Sekolah yang berhubungan dengan kesehatan (Health Related Policies in Schools).
2. Penyediaan air minum dan sanitasi yang baik (Provision of Save Water and Sanitation Facilities).
3. Pendidikan kesehatan berbasis keterampilan (Skill Based Health Education).
4. Pelayanan Kesehatan dan Gizi berbasis sekolah (School Based Health and Nutrition Services).
Kebijakan Sekolah yang berhubungan dengan kesehatan (Health Related Policies in Schools). Kebijakan kesehatan harus ada di sekolah-sekolah. Kebijakan tersebut termasuk kebijakan adanya pendidikan kesehatan berbasis keterampilan dan penyediaan beberapa pelayanan kesehatan di sekolah. Kebijakan kesehatan di sekolah juga untuk meyakinkan lingkungan fisik yang aman (safe and secure) dan lingkungan psikososial yang positif, juga harus menyangkut hal-hal seperti kekerasan terhadap anak, pelecehan seksual dan sebagainya. Kebijakan yang dapat membantu pencegahan dan pengurangan pelecehan oleh siswa lain bahkan pelecehan guru, kebijakan yang dapat memberi kesempatan yang sama bagi anak perempuan untuk bersekolah. Kebijakan mengenai praktek-praktek oleh guru dan siswa yang berkaitan dengan kesehatan yang dapat memperkuat pendidikan kesehatan: para guru dapat menjadi “role model” bagi para siswanya, misalnya tidak merokok di sekolah, kebersihan dirinya dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan yang paling baik dibuat dengan melibatkan berbagai tingkat, tingkat nasional, para guru, para siswa, para orang tua wali murid dan sebagainya.
Penyediaan air minum dan sanitasi yang baik (Provision of Save Water and Sanitation Facilities). Lingkungan sekolah dapat merusak status sekolah dapat merusak status kesehatan dan gizi anak-anak sekolah, khususnya jika lingkungan tersebut meningkatkan paparan terhadap bahaya seperti bahaya penyakit infeksi yang tertularkan melalui air. Pendidikan mengenai personal hygiene menjadi kurang bermakna tanpa adanya air minum dan fasilitas sanitasi. Dengan menyediakan fasilitas-fasilitas ini, sekolah dapat memperkuat pesan-pesan tentang personal hygiene dan kesehatan. Hal ini dapat menjadi contoh baik bagi siswa maupun masyarakat yang lebih luas sehingga akhirnya dapat menimbulkan kebutuhan fasilitas yang sama di masyarakat. Kebijakan mengenai konstruksi harus dapat mendukung upaya untuk menjawab isu-isu gender dan privasi. Misalnya, fasilitas untuk laki-laki dan perempuan dipisahkan, terutama untuk anak (remaja) perempuan. Ini penting untuk mengurangi faktor drop out pada saat menstruasi.
Pendidikan kesehatan berbasis keterampilan (Skill Based Health Education). Pendekatan ini untuk pendidikan kesehatan, gizi dan hygiene yang berfokus pada pengembangan pengetahuan, sikap, nilai dan keterampilan hidup (life skill) yang diperlukan untuk bertindak, membuat keputusan yang berhubungan dengan kesehatan yang positif dan tepat. Kesehatan yang dimaksud tidak saja menyangkut kesehatan fisik tetapi juga lingkungan (environment) dan psikososial. Faktor prilaku dan lingkungan sosial yang tidak sehat tidak saja mempengaruhi gaya hidup, kesehatan dan gizi, tetapi juga menghambat kesempatan bersekolah. Pengembangan sikap yang berhubungan dengan gender (kesetaraan umat laki-laki dan perempuan) dan pengembangan keterampilan-keterampilan khusus seperti mengahadapi tekanan oleh teman sebaya, merupakan sentral bagi pendidikan kesehatan berbasis keterampilan yang efektif dan lingkungan sosial yang positif. Saat siswa memiliki keterampilan akan lebih menjamin seseorang tersebut mengadopsi dan terus melaksanakan perilaku hidup sehat selama sekolah dan untuk seterusnya.
Pelayanan Kesehatan dan Gizi berbasis sekolah (School Based Health and Nutrition Services). Sekolah dapat secara efektif memberikan pelayanan kesehatan dan gizi bila pelayanan tersebut sederhana, aman (safe) dan familiar serta menjawab persoalan yang angka kejadiannya tinggi dan penting di masyarakat. Misalnya, pada masalah kekurangan zat gizi mikro (seperti zat besi, yodium, dan sebagainya), cacingan;  penyediaan makanan kecil untuk mengatasi rasa lapar sesaat selama mengikuti pelajaran dapat memperbaiki prestasi belajat siswa.
Manfaat Program Kesehatan Sekolah yang Efektif
Kemampuan anak untuk mencapai potensinya secara penuh, langsung dipengaruhi oleh efek sinergis antar kondisi kesehatan yang bagus, nutrisi yang bagus dan pendidikan yang tepat. Kesehatan dan pendidikan tidak berhenti pada hal itu, melainkan juga berarti menyediakan individu dengan kesempatan untuk hidup produktif dan memuaskan. Kesehatan sekolah merupakan investasi bagi masa depan bangsa dalam meningkatkan kapasitas manusianya. Program kesehatan sekolah yang efektif akan memberikan manfaat:  

  1. Menjawab Kebutuhan Baru. Dalam upaya pemerintah meningkatkan cakupan pendidikan, peran kesehatan sangat penting, terutama untuk anak perempuan. Dengan demikian sekolah merupakan tempat kunci di mana sektor kesehatan dan pendidikan dapat bekerja bersama untuk memperbaiki kesehatan, gizi dan pendidikan anak.
  2. Meningkatkan efikasi dari investasi yang lain dalam pengembangan anak. Program kesehatan sekolah yang efektif akan melanggengkan manfaat program ECCD (early chil care and development). Prestasi pendidikan yang lebih baik. Kekurangan gizi mikro, infeksi parasit, penglihatan dan pendengaran yang kurang baik akan memiliki efek buruk pada kehadiran di sekolah, kecerdasan dan prestasi sekolah.
  3. Mencapai kesetaraan sosial yang lebih baik. Pada anak-anak dari keluarga kurang mampu, kemampuan mereka untuk datang ke sekolah dan kemampuan belajarnya dipengaruhi oleh tingkat kesehatannya. Program kesehatan sekolah akan sangat menolong anak-anak ini. Merupakan strategi yang sangat efektif biaya. Keefektifan program ini karena efek sinergis dari manfaat kesehatan dan manfaat pendidikan yang terlihat tidak saja dari perbaikan kondisi kesehatan dan gizi tapi juga dari perbaikan hasil prestasi belajar, mengurangi pemborosan, mengurangi pengulangan dan secara umum meningkatkan hasil investasi pendidikan. Oleh karena itu, kini saatnya untuk berbuat, menjadikan program kesehatan sekolah, efektif. 
Daftar Pustaka
Setyo Edi, SKM, Dipl.CN, M.Sc. dalam Percik, 2006.

Monday 17 September 2012

Pendidikan Indonesia Hanya Cerdaskan Otak

Sumber Gambar : lensaindonesia.com
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Prof. Dr. Mahfud MD, S.H., S.U., menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini tidak mencerdaskan masyarakat. Pendidikan yang diterapkan di berbagai lembaga pendidikan hanya mendidik individu agar memiliki ketajaman otak/berpikir saja. Sementara tidak memberikan pendidikan watak dan karakter. Akibatnya banyak terjadi kemerosotan moral dan etika di tengah kehidupan masyarakat Indonesia.
“Kebijakan pendidikan saat ini justru bukan mencerdaskan masyarakat, tetapi hanya membuat orang jadi pandai saja,” tuturnya Senin (17/9)saat mengisi kuliah perdana dihadapan ribuan mahasiswa baru program pascasarjana UGM, di Graha Sabha Pramana (GSP). Pada tahun ajaran 2012/2013, UGM secara resmi menerima sebanyak 4.233 mahasiswa baru program pascasarjana yaitu program S2, S3, dan spesialis.
Mahfud mengatakan bahwa cerdas dan pandai adalah dua hal yang berbeda. Kepandaian hanya menekankan pada kemampuan otak dalam berfikir menganalisis suatu hal secara rasional. Sedangkan kecerdasan merupakan pertemuan antara ketajaman berfikir, watak,dan hati nurani.
“Saat ini yang terjadi adalah pendidikan hanya memandaikan individu sehingga banyak bermunculan limbah-limbah pendidikan yang produknya hanya membebani negara,” terangnya.
Dalam beberapa dekade terakhir, lanjutnya, pendidikan di Indonesia seperti hanya ditujukan untuk memberikan ijazah dan gelar akademik semata. Karena keduanya masih menjadi ukuran untuk mendapatkan satus formal di pemerintahan maka tidak mengherankan apabila banyak pihak yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh ijazah dan gelar akademik.
“Banyak terjadi pelanggaran etika karena yang diinginkan hanya ijazah saja bukan kecerdasan,” jelas Mahfud.
Lebih lanjut Mahfud menyampaikan setiap perguruan tinggi harus membangun norma akademik, memperkuat tradisi akademik, serta kegiatan penunjang yang dapat memperkuat profesionalitas dan etika . Ketiga hal tersebut merupakan faktor yang harus ada untuk memperkuat etika keilmuan dalam proses pengembangan pendidikan beretika. “Dalam pengembangannya pun harus dilakukan sama kuat karena sumber dari berbagai permasalahan yang ada adalah karena penyelenggaraan pendidikan kita yang keluar dari nilai-nilai etika yang sudah digariskan Undang-undang. Jadi yang ada pendidikan sekarang ini hanya menjadi semacam proses jual beli,” katanya.
Sementara sebelumnya, Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc., dalam sambutannya mengatakan bahwa pendidikan bukanlah hanya sebatas pengetahuan dan keterampilan. Namun juga berakitan dengan integritas moral, etika dam karakter kebangsaan.
Menurutnya, permasalahan pendidikan di Indonesia bukan terletak pada kurang pintarnya individunya melainkan kurang pintar sebagai bangsa. Pendidikan seharusnya tidak hanya bersifat mencerdaskan individu, akan tetapi juga mencerdaskan bangsa. “Untuk itu UGM juga berkomitmen tidak hanya mencerdaskan individu saja tetapi juga menjadikan bangsa yang cerdas agar menjadi bangsa yang bermartabat, berdaulat dan dihargai di dunia internasional,” paparnya. Source: (Humas UGM/Ika) www.ugm.ac.id

Sunday 16 September 2012

Kajian Resiko Kesehatan Perempuan dalam Proses Produksi, Distribusi dan Konsumsi Pola Makanan di Jayawijaya - Papua dengan Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup


Sumber gambar : nationalgeographic.co.id
Empat penyakit (malaria, pneumonia, diarrhea dan malnutrisi) pada umumnya yang menyebabkan buruknya kondisi kesehatan di lembah baliyem khususnya wanita dan anak-anak. Kondisi ini sama dengan beberapa daerah lain yaitu wanita memiliki derajat lebih rendah dari pada laki-laki. Kondisi kesehatan yang buruk diantara suku asli Irian sebagian besar berkaitan dengan kemampuan kelompok yang masih jauh dari seluruh aspek pembangunan seperti pendidikan, kondisi sosial ekonomi, kurangnya informasi kesehatan dan lain sebagainya. Kesehatan lansia wanita mencerminkan pengalaman yang penuh dengan diskriminasi.
Lembah baliem terletak di pegunungan Jayawijaya Irian Jaya, Propinsi paling timur Indonesia. Masyarakat dani masih tinggal di desa terisolasi diatas tanah yang beratapkan jerami. Masyarakat suku dani menempatkan pria pada posisi tertinggi sedangkan wanita cenderung diabaikan. Wanita mempuyai peran paling penting dari segala jenis pekerjaan baik dalam bercocok tanam untuk mencukupi kebutuhan maupun urusan rumah tangga. Mereka menganggap tabu apabila pekerjaan wanita di ambil alih oleh laki-laki sehingga pada saat wanita mengalami kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan atau sakit kebutuhan mereka akan terhambat karena laki-laki merasa tidak wajar apabila mereka bekerja menggantikan posisi wanita.
Dalam mencukupi kebutuhan pangan masyarakat suku dani, laki-laki selalu mendapat bagian pertama disusul anak-anak baru kemudian wanita sehingga para wanita suku dani selalu mendapatkan makanan sisa. Dari segi pendidikan, mayoritas masyarakat yang sudah berumur tidak berpendidikan. Anak-anak yang baru masuk sekolah dasar sudah dikeluarkan karena masalah ekonomi. Sebagian besar mereka hanya mampu bercocok tanam ubi jalar untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Pengolahan makanan masih menggunakan teknik yang sangat sederhana atau tradisional seperti dibakar langsung dan direbus. Semua kegiatan tersebut dilakukan oleh wanita, laki-laki hanya sesekali membantu pekerjaan wanita dalam bercocok tanam seperti membersihkan lahan untuk bercocok tanam karena wanita yang paling tahu semua aspek pekerjaan dan wanita merupakan satu-satunya tumpuan keluarga.
Pada saat musim kemarau tiba, krisis makanan menjadi masalah pada masyarakat suku dani karena kegiatan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka terhambat. Pada bulan-bulan tertentu ketersediaan makanan dari lahan bercocok tanam tidak mencukupi kebutuhan sehingga muncul masalah kelaparan dan malnutrisi. Kondisi seperti ini sudah dianggap biasa oleh masyarakat suku dani.
Pokok permasalahan dari kasus masyarakat suku dani adalah adanya kelaparan dan malnutrisi karena ketidaksetaraan gender dan tidak adanya variasi jenis makanan pokok alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehingga perlu adanya perubahan paradigma dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan masyarakat suku dani serta pengenalan jenis makanan pokok lain untuk dijadikan sebagai alternatif apabila ketersediaan makanan pokok ubi jalar terbatas.
Dari gambaran kasus tersebut apabila mengacu pada kerangka kluckhohn mengenai lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai-budaya manusia adalah sebagai berikut:
1.  Hakekat hidup : hidup itu baik
2. Hakekat karya : karya itu untuk hidup. Masyarakat suku dani melakukan kegiatan/berkarya untuk hidup yang masih banyak kekurangan.
3. Persepsi tentang waktu : orientasi ke masa kini. Masyarakat suku dani bekerja untuk memenuhi kebutuhan masa kini.
4. Pandangan terhadap alam : tunduk kepada alam yang dahsyat. Pada musim tertentu seperti musim kemarau/kering kebutuhan mereka terhambat sehingga muncul berbagai macam kasus kesehatan seperti kelaparan dan malnutrisi.
5. Hakekat hubungan antara manusia dengan sesamanya : orientasi vertikal, rasa ketergantungan pada tokoh-tokoh atasan. Masyarakat suku dani bergantung pada budaya yang sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka dan tunduk terhadap nilai-nilai tersebut.
Kondisi masyarakat suku dani yang masih menganut prinsip-prinsip kebudayaan sangat mempengaruhi keselamatan dan kesehatan kerja masyarakat tersebut. Hal ini mengakibatkan banyaknya masalah-masalah kesehatan yang muncul sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus untuk merubah perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah turun-temurun dijalankan. Berbeda dengan pekerja-pekerja wanita pada industri yang sudah menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan hidup. Pada industri besar yang mempekerjakan wanita sebagai tenaga kerja seperti industri busana, sistem manajemen K3LH sudah diterapkan sehingga tercipta tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Pekerja wanita lebih diperhatikan dan dihargai untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan pada pekerja wanita.

Saturday 15 September 2012

Dimensi dan Paradigma Penelitian

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam sebuah penelitian.
yang pertama, dalam penelitian kualitatif  Peneliti harus masuk sendiri dan tidak bisa diwakilkan, Situasi sosial (pelaku, lokasi, aktivitas), Peneliti tidak boleh merubah apa yang ada dilapangan, Fakta yang dikatakan oleh subjek adalah teori (apapun itu), narasi apa adanya.
yang kedua, dalam penelitian kuantitatif korelasi (x1x2 – y) max 0,7
Perbedaan kuantitatif dan kuantitatif dan kualitatif dapat dilihat dari tiga aspek sebagai berikut :

1. Realitas 
Kualitatif : dalam situasi alamiah, Subjektif, Problematik, holistik(idiografik), non reduksi, narasi, induktif
Kuantitatif : ada jarak dengan situasi alamiah, objektif, belum tentu ada problem dengan membaca referensi, nomotetik, reduksi variabel, angka, deduktif

2. Cara berfikir 
Kualitatif : (kecil ke besar)
Kuantitatif : (besar ke kecil) hipotesis

3. Desain penelitian
Kualitatif : fleksibel
Kuantitatif : fixed