Thursday 12 May 2016

Merdeka Katanya

Seringkali terpikir, kita benar-benar belum merdeka
seiring waktu bergulir, tak ada perubaahan apa-apa

Logika ini dibentuk bukan oleh kita
Rutinitas yang sama, nyata-nyata bukan kehendak kita
Tradisi yang bukan tradisi kita
Bahkan. keyakinan ini pun, entah di import dari mana

Kita merasa bangga
Memakai pakaian yang bukan milik kita


Setiap tahun meriah dirayakan, hari kemerdekaan
Masing-masing menggaungkan, panji-panji kebebasan
Padahal nyata-nyata tak ada yang didapatkan
Kekayaan yang semestinya membanggakan
Raib dicuri secara terang-terangan





Monday 2 May 2016

Kembalikan Wajah Asli Desa

Apa yang tersingkap dalam benak kita ketika mendengar kata "Desa"?
Kaum konvensional dan mainstream pasti akan menyebutkan bahwa desa itu tertinggal, jauh dari teknologi, dan membutuhkan pembangunan. Penduduk Desa tidak mengikuti perkembangan zaman yang menurut orang sekarang jauh dari kata modern. Berbeda dengan Kota, yang cenderung maju dan kaya akan akses teknologi dan informasi. Pembangunan untuk pedesaan bagi sebagian besar orang penting untuk dilakukan dengan harapan bahwa nilai perekonomian masyarakat, derajat kesehatan, dan kualitas hidup meningkat. Namun faktanya, justru pembangunan yang dilaksanakan belum pernah sampai kepada tujuan yang diharapkan. Alih-alih membawa perubahan yang lebih baik dengan adanya pembangunan, justru yang terjadi adalah penyakit-penyakit perkotaan seperti persaingan yang tidak sehat, kasus-kasus kesehatan yang tadinya hanya ada di Kota, kini muncul di Desa. 

Desa merupakan tempat dimana kita bisa bermasyarakat. Bermasyarakat berarti saling mengisi kekosongan antar penduduknya, saling membantu satu sama lain, nilai persaudaraan yang tinggi. Makan di bawah pohon akan lebih nikmat dibandingkan dengan makan di restoran mewah. Angin sepoi-sepoi dan gemericik air mengalir, sangat sulit ditemukan di Kota. Ironisnya, orang kota justru selalu menginginkan kehidupan yang ada di Desa, Desa yang menawarkan ketenangan, kebersihan, keindahan, aroma dedaunan, dan indah suara riak air yang membuat kenikmatan hidup di Desa jauh lebih tinggi dari pada di Kota. Apakah hal-hal seperti itu akan tetap ada dan terjaga dengan adanya pembangunan?

Pembangunan Desa harus tepat, tradisi jangan ditinggalkan. Namun kebanyakan, pembangunan desa tidak memperhatikan hal-hal demikian. Pembangunan yang dilakukan linier dengan penurunan wajah asli desa. Desa yang tadinya asri kini kaya akan polusi, Desa yang penghuninya saling mengisi kini tidak lagi. Desa harus tetap dijaga, desa tetap harus menjadi desa. 

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah pembangunan benar-benar dibutuhkan untuk Desa? Pembangunan seperti apa yang tepat?
Pembangunan tetap harus dilakukan, namun pembangunan yang harus dilakukan bukan membawa sifat - sifat Kota ke Desa. Pembangunan yang harus dilakukan adalah "MENGEMBALIKAN WAJAH ASLI DESA".

Ditulis Oleh : Azir Alfanan
Kontributor : Putu Yanka, Sumber Rezeki, Triyanto Abdullah,  Husnul Khatimah
Yogyakarta, 2 Mei 2016.

Thursday 5 November 2015

Manusia Pertama

Pernahkah terpikirkan dalam benak anda bermacam pertanyaan yang oleh karena struktur dalam keluarga, lingkungan sosial dan lainnya yang sudah terbentuk sedemikian rupa sehingga seolah-olah pertanyaan-pertanyaan tersebut tak pernah dijawab atau tak pernah mendapatkan jawaban yang setidaknya mendekati kebenaran?
Bagi saya, terlalu banyak pertanyaan yang sampai sekarang belum pernah ada jawaban yang melegakan. 

Pertama, apa benar Adam adalah manusia pertama? jika saya meyakini bahwa Adam adalah manusia pertama, saya membutuhkan jawaban untuk pertanyaan kedua. Siapa yang dinikahi anak-anak Adam? apakah saudaranya sendiri? sedangkan dalam ajaran yang oleh lingkungan sekitar saya yakini mengatakan kalau tidak diperbolehkan menikah dengan saudara kandung sendiri.

Bukan bermaksud melarang untuk meyakini ajaran yang selama ini sudah ada dan terpelihara. Namun, perlu digali lebih dalam lagi kaitannya dengan "Manusia" pertama. Saya meyakini bahwa Kanjeng Nabi Adam As. adalah manusia pertama, tapi bukan berarti saya tidak percaya bahwa ada "Manusia" sebelum Adam. Sebagai contoh, Fosil manusia purba seperti Pithecanthropus Erectus sudah lama ditemukan di Nusantara dan diketahui meraka hidup pada zaman sebelum adanya "Manusia". Artinya, yang dimaksudkan Adam sebagai "Manusia" pertama saya yakini pasti mengandung makna tersembunyi dibalik kata "Manusia" itu sendiri.

Selama ini, kebanyakan orang membedakan manusia dengan hewan dari akalnya. Dimana letak akal? banyak dari kita mengetahui dimana letak otak, namun akan diam ketika ditanya dimana letak akal.  Belum lagi, apakah kita sudah menggunakan akal? lalu bagaimana dengan banyaknya kasus yang menurut saya justru merupakan sebuah perilaku yang tidak masuk akal, diluar akal, dan perilaku yang lebih keji dan hina dari binatang?

Barangkali, Kanjeng Nabi Adam As. adalah yang pertama disebut "Manusia" karena memang Beliaulah yang pertama layak disebut manusia, yang manusiawi, menggunakan akalnya.
Manusia harus manusiawi, bukannya bertindak keji dan tidak manusiawi. Setidaknya, jika mau disebut manusia, sudah sepatutnya harus lebih baik dari hewan, pun makhluk lainnya. Bukannya lebih rendah.
Apakah kita sudah menggunakan akal?
Apakah kita sudah layak disebut "Manusia"?

Tuesday 6 October 2015

Kebahagiaan Rasa Cukup

Pagi ini, semangat terpompa setelah membaca salah satu kutipan Gus Candra Malik, sosok yang sangat saya kagumi:

"Yang menikmati rasa cukup, ia mensyukuri masa hidup"

Sontak menjadi teringat juga kutipan serupa namun beda kata dari Novel Dee Lestari seri Supernova pertama, KPBJ:

"Orang terlalu kaya dan terlalu miskin mempunyai satu persamaan, sama-sama krisis apresiasi"

Mungkin tidak selalu demikian, namum bisa jadi demikian. Hidup akan menjadi nikmat jika kita menikmati apa yang ada sekarang, menikmati setiap momentum dan setiap detik dalam hidup tanpa pretensi dan ekspektasi apa-apa. Karena hidup adalah sekarang tidak kemarin, besok, ataupun lusa. Jika membicarakan kekurangan, rasa-rasanya semuanya akan terasa masih kurang. tidak ada batasan kekayaan, pun kemiskinan. Keduanya relatif.

Bahagia adalah menikmati dan bersyukur akan semua yang ada sekarang. Bahagia adalah sebuah keadaan yang hanya kita sendiri yang menciptakan.

Yogyakarta, 06 Oktober 2015